Monthly Archives: Juli 2012

Kebijakan Pengaturan Ekspor Mineral

Latar belakang
Dengan adanya UU Minerba, semua barang tambang harus diolah dulu baru boleh di ekspor. Pada Pasal 102 UU minerba, Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kewajiban ini baru direncanakan berlaku pada 2014. Melihat larangan itu baru berlaku pada tahun 2014, pengusaha menaikkan produksi dan eskpor besar-besaran. Karena mereka berfikir, susah untuk mendirikan pabrik pengolahan dan biaya mengeskpor lebih murah daripada mengolah.
Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, seperti ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, tembaga naik 1100% dan bijih bauksit meningkat 500%. Oleh karena itu guna menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, maka mutlak diperlukan adanya pengendalian ekspor bijih mineral (majalah tambang).

Kebijakan Permen No 7 tahun 2012 atau Permen No 11 tahun 2012
Dari masalah tersebut, keluarlah Peraturan Menteri ESDM (permen) no 7 tahun 2012 yang disempurnakan menjadi Permen no 11 tahun 2012. Peraturan itu berinti (pasal 21), perusahaan tambang yang mengantongi izin IUP dan IUPR dilarang keras untuk menjual bijih mineral ke luar negeri dalam jangka waktu 3 bulan setelah berlakunya permen ini (permen ini di tetapkan bulan februari). Jenis komoditas tambang mineral logam juga ditentukan. Peraturan ini berlaku pada mineral tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium, molibdenum, platinum group metal, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel dan atau kobalt, mangan dan antimon. Kebijakan yang datang tiba-tiba ini tentu saja membuat para pengusaha tambang kebingungan. Dalam waktu tiga bulan, mereka harus membangun smelter mereka sendiri, atau menitipkan barang tambang mereka ke pengusaha lain.

Selain kebijakan pembatasan dan kenaikan bea ekspor, Penambang mineral juga diwajibkan untuk menaati peraturan-peraturan seperti dibawah ini agar dapat mengekspor barang mineral mereka:
1. Terdaftar di kementrian perdagangan (sebagai eksportir)
2. Harus Clean and Clear, lokasi pertambangan bagus atau tidak tumpang tindih, serta menandatangani pakta integritas.
3. Rencana riil pengolahan tambang, pembangunan smelter di tahun 2014
4. Hanya bisa mengekspor setelah bayar royalti dan bea keluar
5. Pengenaan Bea Keluar sesuai ketentuan pemerintah;
6. Kuota ekspor mineral dan jangka waktu.

Kondisi Saat Ini
Kondisi saat ini sangat bertentangan dengan kebijakan ini. Izin Usaha Pertambangan dapat didapatkan dengan mudah dan tercatat lebih dari 4000 Izin usaha Pertambangan Mineral di Indonesia sejak tahun 2006. Namun untuk pabrik pengolahan dan pemurnian yang sudah siap hanya lima buah. Sedangkan 19 lagi masih dalam tahap pembangunan. Dari 19 proyek pengolahan dan pemurnian mineral, 7 proyek sedang dalam massa konstruksi, 6 proyek masih dalam studi kelaykan, 6 proyek izin pembangunan. Sungguh keadaan ini tidak bisa mendukung kebijakan ini.

Dampak Kebijakan
Kebijakan ini tentu saja menghasilkan dampak buruk di industri pertambangan. Dampak buruk itu akan terkena pada industri dengan skala kecil dan menengah. Industri ini akan segera gulung tikar karena tidak mempunyai modal untuk membangun smelter. Tidak terkecuali itu, perusahaan besar yang tidak mempunyai cukup modal untuk membangun smelter akan segera menutup perusahaannya. Langkah ini diambil untuk mengamankan posisi keuangan mereka, agar tidak rugi. Memang benar, mereka masih bisa menambang, tapi mereka tidak bisa menjualnya. Industri pengolahannya belum ada, sehingga mereka kesulitan untuk mengekspor atau menjual mineral mereka.

Bila perusahaan tutup, maka yang akan terjadi adalah pemutusan hubungan kerja. Contoh kasusnya adalah seperti di Kepulauan Riau. Di kepulauan Riau ini ada sekitar 20-an usaha tambang bauksit yang menghentikan operasionalnya sementara dan merumahkan sekitar total 4000-an karyawan dari 20 perusahaan tersebut sambil menunggu “perubahan” permen ini. Hal ini dilakukan karena meskipun produksi tetap diizinkan namun hasilnya mau dibawa kemana pasca larangan ekspor tersebut, karena belum ada satupun perusahaan pengolahan biji bauksit didalam negri yang menampung hasil tambang mereka. Bila perusahaan tutup dan banyak karyawan yang di PHK, maka APBD daerah tersebut akan berkurang.

Tidak hanya dalam negeri saja yang terkena efeknya. Baru-baru ini, pemerintah Jepang menggugat pemerintah Indonesia karena kebijakan ini. Gugatan ini dilayangkan Jepang ke World Trade Organization beberapa minggu lalu. Kebijakan ini dianggap mempengaruhi harga mineral menjadi mahal dan menghambat produksi mineral dalam negeri Jepang. Perlu diketahui, kebanyakan mineral yang diolah di Jepang, merupakan mineral yang diimpor dari Indonesia.
Kebijakan ini tentu saja mempunyai manfaat atau keuntungan sendiri. Penambahan nilai jual mineral tentu saja akan kita dapatkan. Contohnya seperti ini, harga nikel mentah tingkat 2000 dollar AS per ton. Setelah jadi ferro nikel, harganya jadi 17.000 dollar AS per ton sesuai LME. Meningkat pesat atau hampir sembilan kali lipat dari harga normal. Tentu saja keuntungannya akan lebih banyak lagi daripada kita hanya menjual raw material saja.

Menambah tenaga kerja yang diserap dan peningkatan mutu sumberdaya manusia adalah manfaat sekundernya. Hal ini akan tercapai bila banyak pabrik pengolahan dan pemurnian mineral didirikan. Tentu saja banyak pekerja yang akan diserap dan membutuhkan tenaga ahli-tenaga ahli untuk menangani masalah-masalh dalam industri ini. Selain dua manfaat diatas, manfaat yang akan timbul lagi adalah terkontrolnya ekspor mineral. Tidak ada penjualan barang mentah ke luar negeri, atau tidak adanya penjualan tanah air kita begitu saja.

Solusi
Kita perlu belajar dari negara lain. Negara tetangga kita yang mengandalkan sektor pertambangannya sudah menerapkan kebijakan ini terlebih dahulu. Filipina saat dipimpin oleh presiden Benigno Aquino menerapkan kebijakan diantaranya adalah meningkatkan pengolahan mineral di hilir dan melarang ekspor, tidak adanya tax holiday untuk industri pertambangan dan pengurangan produksi ekspor alumina. Pengurangan produksi alumina dapat menyebabkan kenaikan harga dari alumina tersebut. Afrika Selatan juga menerapkan hal serupa. Hal ini dapat membuat warga negara mereka lebih sejahtera dari sebelumnya.

Permasalahan ini tidak bisa dibiarkan berlarut larut. Solusi dari permasalahan ini adalah:
1. Membangun konsorsium bersama perusahaan tambang mineral untuk mendirikan smelter
Bila banyak perusahaan yang kekurangan modal, ada baiknya jika perusahaan-perusahaan itu berkumpul menjadi satu membentuk suatu konsorsium untuk mendirikan pengolahan mineral. Hal ini akan menguntungkan buat mereka, selain menambang, mereka juga akan meraih keuntungan dari mengolah mineral tersebut. Konsepnya seperti ini, di setiap regional yang mempunyai mineral utama, seperti Kepulauan Riau dengan bauksitnya, Sulawesi dengan nikelnya, mempunyai pabrik pengolahan sendiri-sendiri. Selain menguntungkan perusahaan, hal ini juga akan menguntungkan pemerintah daerah.
2. Kebijakan divestasi tambang perlu ditinjau ulang
Adanya kebijakan divestasi tambang pada tahun ke 10 sebesar 51% pada perusahan dengan investor asing, akan membuat investor asing bergeming. Jika dalam kurun waktu 10 tahun modal sudah kembali, tentu saja itu tidak bermasalah. Namun, jika dalam 10 tahun belum kembali modalnya, tentu akan menyurutkan niat investor. Kebijakan ini tentu harus dianalisis.
3. Kemudahan untuk para investor menginvestasikan dalam program ini
Bila ingin investasi ini akan berjalan lancar dan tepat pada waktunya, maka kemudahan dalam berinvestasi harus dilakukan. Kemudahan ini dapat dilakukan misalnya pemberian pinjaman lunak untuk modal pembangunan smelter atau pengolahan. Pengurangan bea masuk pada alat-alat smelter atau pengolahan bisa dilakukan dan kemudahan pemberian izin pembangunan smelter tentu akan menarik investor.
4. Menyiapkan SDM atau engineer lokal yang mumpuni.
Penyiapan teknisi dan ahli metalurgi yang handal harus dilakukan. Kita tidak mungkin akan menjadi tukang dalam negeri kita sendiri. Oleh karena itu, perbanyak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan cara pendidikan D3, Sarjana, Master dan Doctor pada jurusan yang bersangkutan dengan pengolahan dan pemurnian mineral ini.
Harapannya pemerintah kali ini benar-benar ketat dalam menerapkan permen ini. Begitu juga upaya untuk menarik investor asing untuk membangun industri pengolahan dalam negeri harus dipercepat, setidaknya sebelum 2014 sudah berdiri sekitar 19 pabrik pengolahan tersebut untuk menambah nilai ekspor yang tentunya meningkatkan pendapatan negara.

Terlepas dari pro kontra peraturan ini, yang jelas kekayaan alam nusantara ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, bukan sekedar mereka yang berdasi dan berjas hitam, atau engineer-engineer luar negeri atau engineer lokal, tapi kesejahteraan ini untuk masyarakat yang berbangsa dan bernegara Indonesia, cukup itu saja. Mineral ini adalah rahmat dan karunia Tuhan serta sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, oleh karena itu, kita harus memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Taruna fadillah
Mahasiswa Pertambangan Institut Teknologi Bandung
Dituliskan dari hasil diskusi keprofesian HMT, tanggal 19 Juni 2012